Kembali
Sedotan Emas atau Plastik?
26 Aug 2018
·Oleh : Dislhk
·467 kali dibaca

Seniman dari Brooklyn, New York, Annie Boyden Varnot menciptakan patung-patung menakjubkan dengan bentuk abstrak dan ragam warna. Sedangkan beberapa perempuan di Kampung Jambangan, Surabaya, dengan terampil menganyam crochet lace,renda rajutan untuk taplak bercorak indah.
Ironisnya, karya-karya artistik para pencinta lingkungan itu diwujudkan dari sedotan plastik. Mereka menyikapi ketidakpedulian sesama manusia terhadap alamnya, menanggung ulah insan yang nyaman menggunakan sedotan plastik dan santai mencampakkan.
Kampanye diet sedotan plastik sungguh perlu digalakkan, untuk memusatkan perhatian bagaimana barang yang kelihatan sepele itu bisa menyengsarakan makhluk hidup lainnya. Namun diet demikian harus menjadi bagian dari gerakan lebih besar dalam mengurangi pemakaian kantong plastik sekali pakai yang di seluruh dunia mencapai 500 miliar setiap tahunnya.
Sejarah sedotan, seperti diterangkan situs web Eating Utensils, dapat ditelusuri sepanjang 5000 tahun. Bangsa Sumeria kuno yang menghuni kawasan Mesopotamia menggunakan sedotan terbuat dari emas dan batu mulia lapis lazuli untuk minum bir. Banyaknya endapan dari proses pembuatan bir ketika itu membuat mereka mencari cara agar hanya cairannya yang dinikmati.
Pembuatan sedotan lalu berkembang dengan bahan yang lebih praktis, seperti gandum hitam, kayu, logam, kertas, dan kemudian plastik. Dari sesuatu yang dibutuhkan, minum dengan sesapan itu kemudian menjadi kebiasaan. Seperti lagu musisi lawas Mick Jagger, Old Habits Die Hard, sangatlah sulit untuk menghentikan kebiasaan yang telah lama dilakukan.
Budaya sedotan plastik berkembang karena pembeli minuman langsung diberi peranti itu tanpa diminta, baik di restoran mewah, rumah makan sederhana, maupun warung pinggir jalan. Di restoran cepat saji bahkan tersedia wadahnya sehingga pelanggan bebas mengambil satu buah bahkan lebih.
Sedotan berguna bagi penyandang disabilitas dan penderita sakit kronis. Mungkin juga untuk pribadi tertentu menggunakan sedotan tampak lebih elegan, daripada menyeruput minuman dingin langsung dari gelas. Namun bagi banyak orang, ini bukanlah kebutuhan dasar, sehingga manusia bisa tetap hidup tanpanya. Atau jika memang masih belum bisa meninggalkan sedotan mengapa tidak kembali menggunakan yang terbuat dari bambu, logam, kertas, atau bahkan emas?
Melarang penggunaan sedotan bisa dilakukan melalui peraturan, tetapi sungguh absurd jika payung hukum digunakan hanya untuk benda kecil ini. Lagipula sudah ada beberapa peraturan perundang-undangan terkait sampah yang bisa dijadikan dasar.
Karena menggunakan sedotan plastik lebih merupakan sebuah kebiasaan dibandingkan kebutuhan utama, maka dietnya dapat merupakan teknik efektif untuk mengurangi kelaziman ini. Apalagi jika digaungkan terus-menerus pemahaman tentang dampak negatifnya.
Seniman pencinta lingkungan akan terus berkarya dengan menggunakan sedotan plastik. Selain Annie Boyden Varnot dari Brooklyn, Web Ecoist mengangkat Inna Alesina yang berasal dari Ukraina, pembuat lampu berdiri dan lampu gantung cantik dari ribuan sedotan. Scott Jarvie dari Inggris membentuk kursi estetis dari 10.000 buah sedotan. Tetapi bukankah sangat tidak pantas jika karya kirana tercipta karena noda manusia pada alamnya? (ade)
Media (Foto atau Video)

26 Aug 2018
·Dislhk
·467 kali dibaca
BERITA lainnya